1. Teori Perdagangan Internasional
TEORI KLASIK
TEORI KLASIK
a. Teori Absolute Advantage
Teori Absolute Advantage lebih mendasarkan pada besaran/variabel riil bukan moneter sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory) perdagangan internasional. Murni dalam arti bahwa teori ini memusatkan perhatiannya pada variabel riil seperti misalnya nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi nilai barang tersebut (Labor Theory of value )
Teori absolute advantage Adam Smith yang sederhana menggunakan teori nilai tenaga kerja, Teori nilai kerja ini bersifat sangat sederhana sebab menggunakan anggapan bahwa tenaga kerja itu sifatnya homogeny serta merupakan satu-satunya factor produksi. Dalam kenyataannya tenaga kerja itu tidak homogen, factor produksi tidak hanya satu dan mobilitas tenaga kerja tidak bebas. dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut: Misalnya hanya ada 2 negara, Amerika dan Inggris memiliki faktor produksi tenaga kerja yang homogen menghasilkan dua barang yakni gandum dan pakaian. Untuk menghasilkan 1 unit gandum dan pakaian Amerika membutuhkan 8 unit tenaga kerja dan 4 unit tenaga kerja. Di Inggris setiap unit gandum dan pakaian masing-masing membutuhkan tenaga kerja sebanyak 10 unit dan 2 unit.
Amerika lebih efisien dalam memproduksi gandum sedang Inggris dalam produksi pakaian. 1 unit gandum diperlukan 10 unit tenaga kerja di Inggris sedang di Amerika hanya 8 unit. (10 > 8 ). 1 unit pakaian di Amerika memerlukan 4 unit tenaga kerja sedang di Inggris hanya 2 unit. Keadaan demikian ini dapat dikatakan bahwa Amerika memiliki absolute advantage pada produksi gandum dan Inggris memiliki absolute advantage pada produksi pakaian. Dikatakan absolute advantage karena masing-masing negara dapat menghasilkan satu macam barang dengan biaya yang secara absolut lebih rendah dari negara lain.
Kelebihan dari teori Absolute advantage yaitu terjadinya perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya yaitu apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan.
Teori Absolute Advantage lebih mendasarkan pada besaran/variabel riil bukan moneter sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory) perdagangan internasional. Murni dalam arti bahwa teori ini memusatkan perhatiannya pada variabel riil seperti misalnya nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi nilai barang tersebut (Labor Theory of value )
Teori absolute advantage Adam Smith yang sederhana menggunakan teori nilai tenaga kerja, Teori nilai kerja ini bersifat sangat sederhana sebab menggunakan anggapan bahwa tenaga kerja itu sifatnya homogeny serta merupakan satu-satunya factor produksi. Dalam kenyataannya tenaga kerja itu tidak homogen, factor produksi tidak hanya satu dan mobilitas tenaga kerja tidak bebas. dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut: Misalnya hanya ada 2 negara, Amerika dan Inggris memiliki faktor produksi tenaga kerja yang homogen menghasilkan dua barang yakni gandum dan pakaian. Untuk menghasilkan 1 unit gandum dan pakaian Amerika membutuhkan 8 unit tenaga kerja dan 4 unit tenaga kerja. Di Inggris setiap unit gandum dan pakaian masing-masing membutuhkan tenaga kerja sebanyak 10 unit dan 2 unit.
Amerika lebih efisien dalam memproduksi gandum sedang Inggris dalam produksi pakaian. 1 unit gandum diperlukan 10 unit tenaga kerja di Inggris sedang di Amerika hanya 8 unit. (10 > 8 ). 1 unit pakaian di Amerika memerlukan 4 unit tenaga kerja sedang di Inggris hanya 2 unit. Keadaan demikian ini dapat dikatakan bahwa Amerika memiliki absolute advantage pada produksi gandum dan Inggris memiliki absolute advantage pada produksi pakaian. Dikatakan absolute advantage karena masing-masing negara dapat menghasilkan satu macam barang dengan biaya yang secara absolut lebih rendah dari negara lain.
Kelebihan dari teori Absolute advantage yaitu terjadinya perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya yaitu apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan.
b. Comparative Advantage : JS Mill
Teori ini menyatakan bahwa suatu Negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan mengimpor barang yang dimiliki comparative diadvantage(suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar ).
Karena absolute advantage untuk produksi gandum dan pakaian ada pada Amerika semua. Tetapi yang penting bukan absolute advantagenya tetapi comparative Advantagenya.
Besarnya comparative advantage untuk Amerika , dalam produksi gandum 6 bakul disbanding 2 bakul dari Inggris atau =3 : 1. Dalam produksi pakaian 10 yard dibanding 6 yard dari Inggris atau 5/3 : 1. Disini Amerika memiliki comparative advantage pada produksi gandum yakni 3 : 1 lebih besar dari 5/3 : 1.
Untuk Inggris, dalam produksi gandum 2 bakul disbanding 6 bakul dari Amerika atau 1/3 : 1. Dalam produksi pakaian 6 yard dari Amerika Serikat atau = 3/5: 1. Comparative advantage ada pada produksi pakaian yakni 3/5 : 1 lebih besar dari 1/3 : 1. Oleh karena itu perdagangan akan timbul antara Amerika dengan Inggris, dengan spesialisasi gandum untuk Amerika dan menukarkan sebagian gandumnya dengan pakaian dari Inggris. Dasar nilai pertukaran (term of Trade ) ditentukan dengan batas - batas nilai tujar masing - masing barang didalam negeri.
Kelebihan untuk teori comparative advantage ini adalah dapat menerangkan berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran dimana kedua hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori absolute advantage.
Teori ini menyatakan bahwa suatu Negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan mengimpor barang yang dimiliki comparative diadvantage(suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar ).
Karena absolute advantage untuk produksi gandum dan pakaian ada pada Amerika semua. Tetapi yang penting bukan absolute advantagenya tetapi comparative Advantagenya.
Besarnya comparative advantage untuk Amerika , dalam produksi gandum 6 bakul disbanding 2 bakul dari Inggris atau =3 : 1. Dalam produksi pakaian 10 yard dibanding 6 yard dari Inggris atau 5/3 : 1. Disini Amerika memiliki comparative advantage pada produksi gandum yakni 3 : 1 lebih besar dari 5/3 : 1.
Untuk Inggris, dalam produksi gandum 2 bakul disbanding 6 bakul dari Amerika atau 1/3 : 1. Dalam produksi pakaian 6 yard dari Amerika Serikat atau = 3/5: 1. Comparative advantage ada pada produksi pakaian yakni 3/5 : 1 lebih besar dari 1/3 : 1. Oleh karena itu perdagangan akan timbul antara Amerika dengan Inggris, dengan spesialisasi gandum untuk Amerika dan menukarkan sebagian gandumnya dengan pakaian dari Inggris. Dasar nilai pertukaran (term of Trade ) ditentukan dengan batas - batas nilai tujar masing - masing barang didalam negeri.
Kelebihan untuk teori comparative advantage ini adalah dapat menerangkan berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran dimana kedua hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori absolute advantage.
c. COMPARATIVE COST DARI DAVID RICARDO
- Cost Comparative Advantage ( Labor efficiency )
Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana Negara tersebut dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relative kurang/tidak efisien. Berdasarkan contoh hipotesis dibawah ini maka dapat dikatakan bahwa teori comparative advantage dari David Ricardo adalah cost comparative advantage.
Indonesia memiliki keunggulan absolute dibanding Cina untuk kedua produk diatas, maka tetap dapat terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan kedua Negara melalui spesialisasi jika Negara-negara tersebut memiliki cost comparative advantage atau labor efficiency.
Berdasarkan perbandingan Cost Comparative advantage efficiency, dapat dilihat bahwa tenaga kerja Indonesia lebih effisien dibandingkan tenaga kerja Cina dalam produksi 1 Kg gula ( atau hari kerja ) daripada produksi 1 meter kain ( hari bkerja) hal ini akan mendorong Indonesia melakukan spesialisasi produksi dan ekspor gula.
Sebaliknya tenaga kerja Cina ternyata lebih effisien dibandingkan tenaga kerja Indonesia dalam produksi 1 m kain ( hari kerja ) daripada produksi 1 Kg gula ( hari kerja) hal ini mendorong cina melakukan spesialisasi produksi dan ekspor kain.
Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana Negara tersebut dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relative kurang/tidak efisien. Berdasarkan contoh hipotesis dibawah ini maka dapat dikatakan bahwa teori comparative advantage dari David Ricardo adalah cost comparative advantage.
Indonesia memiliki keunggulan absolute dibanding Cina untuk kedua produk diatas, maka tetap dapat terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan kedua Negara melalui spesialisasi jika Negara-negara tersebut memiliki cost comparative advantage atau labor efficiency.
Berdasarkan perbandingan Cost Comparative advantage efficiency, dapat dilihat bahwa tenaga kerja Indonesia lebih effisien dibandingkan tenaga kerja Cina dalam produksi 1 Kg gula ( atau hari kerja ) daripada produksi 1 meter kain ( hari bkerja) hal ini akan mendorong Indonesia melakukan spesialisasi produksi dan ekspor gula.
Sebaliknya tenaga kerja Cina ternyata lebih effisien dibandingkan tenaga kerja Indonesia dalam produksi 1 m kain ( hari kerja ) daripada produksi 1 Kg gula ( hari kerja) hal ini mendorong cina melakukan spesialisasi produksi dan ekspor kain.
- Production Comperative Advantage ( Labor produktifiti)
Teori ini mencoba melihat kuntungan atau kerugian dalam perbandingan relatif. Teori ini berlandaskan pada asumsi:
1. Labor Theory of Value, yaitu bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang tersebut, dimana nilai barang yang ditukar seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk memproduksinya.
2. Perdagangna internasional dilihat sebagai pertukaran barang dengan barang.
3. Tidak diperhitungkannya biaya dari pengangkutan dan lain-lain dalam hal pemasaran
4. Produksi dijalankan dengan biaya tetap, hal ini berarti skala produksi tidak berpengaruh.
Teori ini mencoba melihat kuntungan atau kerugian dalam perbandingan relatif. Teori ini berlandaskan pada asumsi:
1. Labor Theory of Value, yaitu bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang tersebut, dimana nilai barang yang ditukar seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk memproduksinya.
2. Perdagangna internasional dilihat sebagai pertukaran barang dengan barang.
3. Tidak diperhitungkannya biaya dari pengangkutan dan lain-lain dalam hal pemasaran
4. Produksi dijalankan dengan biaya tetap, hal ini berarti skala produksi tidak berpengaruh.
TEORI MODERN
Teori Heckscher-Ohlin (H-O) menjelaskan beberapa pola perdagangan dengan baik, negara-negara cenderung untuk mengekspor barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah secara intensif.
Menurut Heckscher-Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi. Basis dari keunggulan komparatif adalah:
1. Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi didalam suatu negara.
2. Faktor intensity, yaitu teksnologi yang digunakan didalam proses produksi, apakah labor intensity atau capital intensity.
Teori Heckscher-Ohlin (H-O) menjelaskan beberapa pola perdagangan dengan baik, negara-negara cenderung untuk mengekspor barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah secara intensif.
Menurut Heckscher-Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi. Basis dari keunggulan komparatif adalah:
1. Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi didalam suatu negara.
2. Faktor intensity, yaitu teksnologi yang digunakan didalam proses produksi, apakah labor intensity atau capital intensity.
2. Perkembangan Ekspor Indonesia
· Nilai ekspor Indonesia September 2009 mencapai US$9,83 miliar atau mengalami penurunan sebesar 6,75 persen dibanding ekspor Agustus 2009. Sementara bila dibanding September 2008 mengalami penurunan sebesar 19,92 persen.
· Ekspor nonmigas September 2009 mencapai US$8,13 miliar, turun 8,58 persen dibanding Agustus 2009 sedangkan dibanding ekspor September 2008 menurun 17,25 persen.
· Secara kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-September 2009 mencapai US$80,13 miliar atau menurun 25,57 persen dibanding periode yang sama tahun 2008, sementara ekspor nonmigas mencapai US$68,11 miliar atau menurun 18,21 persen.
· Penurunan ekspor nonmigas terbesar September 2009 terjadi pada lemak & minyak hewan/nabati sebesar US$417,7 juta, sedangkan peningkatan terbesar terjadi pada bijih, kerak, dan abu logam sebesar US$207,5 juta.
Ekspor nonmigas ke Jepang September 2009 mencapai angka terbesar yaitu US$1,09 milyar, disusul Amerika Serikat US$850,4 juta dan Cina US$704,3 juta, dengan kontribusi ketiganya mencapai 32,51 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa ( 27 negara ) sebesar US$1,11 miliar.
Ekspor nonmigas ke Jepang September 2009 mencapai angka terbesar yaitu US$1,09 milyar, disusul Amerika Serikat US$850,4 juta dan Cina US$704,3 juta, dengan kontribusi ketiganya mencapai 32,51 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa ( 27 negara ) sebesar US$1,11 miliar.
· Menurut sektor, ekspor hasil industri periode Januari-September 2009 turun sebesar 25,46 persen dibanding periode yang sama tahun 2008, demikian juga ekspor hasil pertanian 10,72 persen, sebaliknya ekspor hasil tambang dan lainnya naik sebesar 25,46 persen.
3. Tingkat Daya Saing
Peringkat daya saing Indonesia meningkat cukup signifikan di arena global. Tahun 2010 daya saing Indonesia menduduki peringkat 44 dari 144 negara yang tahun sebelumnya pada 2009 di peringkat 54. Tentu, ini sebuah prestasi yang cukup menggembirakan bagi bangsa Indonesia. Namun, Indonesia tetap jangan lengah dalam menghadapi pasar global yang kian kompetitif ini.
Keberhasilan kenaikan posisi daya saing Indonesia itu terutama didongkrak oleh signifikannya peningkatan peringkat beberapa pilar dari 12 pilar daya saing, yaitu Institutions, Infrastructure, Macroeconomic Environment, Health and Primary Education, Higher Education and Training, Goods Market Efficiency, Labour Market Efficiency, Financial Market Development, Technological Readiness, Market Size, Business Sophistication, dan Innovation. WEF sebagai forum yang menjadi acuan para pebisnis mancanegara melihat kinerja Pemerintah Indonesia semakin membaik di beberapa bidang, seperti perlindungan hak kekayaan intelektual naik peringkat dari 67 menjadi 58, tingkat tabungan nasional dari 40 menjadi 16, dan efektivitas kebijakan anti monopoli dari 35 menjadi 30, Indonesia pun dipandang membaik dalam hal perluasan dan dampak perpajakan, yakni naik dari peringkat 22 menjadi 17. Lalu pada pilar business sophistication juga meningkat, yaitu local supplier
quantity dari 50 menjadi 43, value chain breadth dari 35 menjadi 26, control of international distribution dari 39 menjadi 33, dan production process sophistication dari 60 menjadi 52.
Dalam penilaian WEF, peringkat kondisi infrastruktur di Indonesia mengalami penurunan, kendati tidak signifikan. Tahun sebelumnya peringkat infrastruktur Indonesia berada di poisisi 53, namun tahun ini menjadi peringkat 55.
Seiring menurunnya peringkat infrastruktur Indonesia, maka Pemerintah melalui jajaran Kementerian terkait, termasuk Kementerian Perdagangan RI berkomitmen untuk terus mengupayakan peningkatan daya saing bangsa melalui konten teknologi dan pembenahan sarana infrastruktur. Untuk itu, pemerintah akan terus mengundang
investor agar berperan serta dalam Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS/PPP) dan membangun sarana teknologi serta infrastruktur. “Iklim investasi di Indonesia saat ini sangat kondusif, nilai tukar rupiah sudah cukup stabil, dan didukung oleh mudahnya akses permodalan,” ujar Mendag. Selain itu, dalam kebijakan fiskal, pemerintah juga terus memberikan insentif guna merangsang para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pemerintah telah memberikan insentif aktif dalam bentuk pajak
ditanggung pemerintah, `tax allowance` dan `tax holiday`. Dan terus menata usaha intensifikasi dan ekstensifikasi untuk menghasilkan edukasi baik. “Dengan kebijakan tersebut, diharapkan pemerintah dapat membenahi infrastruktur, termasuk jalan, pelabuhan laut, serta pelabuhan udara menjadi lebih kompetitif. Dengan semakin membaiknya infrastruktur, maka daya saing Indonesia nantinya dapat lebih baik.
Meningkatnya daya saing Indonesia di tataran dunia memang sangat membanggakan. Namun, penilaian positif daya saing Indonesia dari Forum Ekonomi Dunia (WEF) tersebut jangan sampai membuat pemerintah Indonesia menjadi lengah. Boleh jadi, peringkat daya saing Indonesia ditataran dunia saat ini lebih unggul dari sejumlah negara, seperti Portugal yang berada di peringkat 46, Italia peringkat 48, India (51), Afrika Selatan (54), Brazil (58), Turki (61), Rusia (63), Mexico (66), Mesir (81), Yunani (83), dan Argentina (87). Demikian pula di tingkat ASEAN, daya saing Indonesia lebih baik dibanding peringkat Vietnam (59), Filipina (85), dan Kamboja (109). Namun, jadi catatan penting bahwa peringkat daya saing Indonesia masih berada di bawah Singapura yang berada di peringkat 3, Malaysia peringkat 26, Brunei peringkat 28, dan Thailand di peringkat 38.
Peringkat daya saing Indonesia meningkat cukup signifikan di arena global. Tahun 2010 daya saing Indonesia menduduki peringkat 44 dari 144 negara yang tahun sebelumnya pada 2009 di peringkat 54. Tentu, ini sebuah prestasi yang cukup menggembirakan bagi bangsa Indonesia. Namun, Indonesia tetap jangan lengah dalam menghadapi pasar global yang kian kompetitif ini.
Keberhasilan kenaikan posisi daya saing Indonesia itu terutama didongkrak oleh signifikannya peningkatan peringkat beberapa pilar dari 12 pilar daya saing, yaitu Institutions, Infrastructure, Macroeconomic Environment, Health and Primary Education, Higher Education and Training, Goods Market Efficiency, Labour Market Efficiency, Financial Market Development, Technological Readiness, Market Size, Business Sophistication, dan Innovation. WEF sebagai forum yang menjadi acuan para pebisnis mancanegara melihat kinerja Pemerintah Indonesia semakin membaik di beberapa bidang, seperti perlindungan hak kekayaan intelektual naik peringkat dari 67 menjadi 58, tingkat tabungan nasional dari 40 menjadi 16, dan efektivitas kebijakan anti monopoli dari 35 menjadi 30, Indonesia pun dipandang membaik dalam hal perluasan dan dampak perpajakan, yakni naik dari peringkat 22 menjadi 17. Lalu pada pilar business sophistication juga meningkat, yaitu local supplier
quantity dari 50 menjadi 43, value chain breadth dari 35 menjadi 26, control of international distribution dari 39 menjadi 33, dan production process sophistication dari 60 menjadi 52.
Dalam penilaian WEF, peringkat kondisi infrastruktur di Indonesia mengalami penurunan, kendati tidak signifikan. Tahun sebelumnya peringkat infrastruktur Indonesia berada di poisisi 53, namun tahun ini menjadi peringkat 55.
Seiring menurunnya peringkat infrastruktur Indonesia, maka Pemerintah melalui jajaran Kementerian terkait, termasuk Kementerian Perdagangan RI berkomitmen untuk terus mengupayakan peningkatan daya saing bangsa melalui konten teknologi dan pembenahan sarana infrastruktur. Untuk itu, pemerintah akan terus mengundang
investor agar berperan serta dalam Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS/PPP) dan membangun sarana teknologi serta infrastruktur. “Iklim investasi di Indonesia saat ini sangat kondusif, nilai tukar rupiah sudah cukup stabil, dan didukung oleh mudahnya akses permodalan,” ujar Mendag. Selain itu, dalam kebijakan fiskal, pemerintah juga terus memberikan insentif guna merangsang para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pemerintah telah memberikan insentif aktif dalam bentuk pajak
ditanggung pemerintah, `tax allowance` dan `tax holiday`. Dan terus menata usaha intensifikasi dan ekstensifikasi untuk menghasilkan edukasi baik. “Dengan kebijakan tersebut, diharapkan pemerintah dapat membenahi infrastruktur, termasuk jalan, pelabuhan laut, serta pelabuhan udara menjadi lebih kompetitif. Dengan semakin membaiknya infrastruktur, maka daya saing Indonesia nantinya dapat lebih baik.
Meningkatnya daya saing Indonesia di tataran dunia memang sangat membanggakan. Namun, penilaian positif daya saing Indonesia dari Forum Ekonomi Dunia (WEF) tersebut jangan sampai membuat pemerintah Indonesia menjadi lengah. Boleh jadi, peringkat daya saing Indonesia ditataran dunia saat ini lebih unggul dari sejumlah negara, seperti Portugal yang berada di peringkat 46, Italia peringkat 48, India (51), Afrika Selatan (54), Brazil (58), Turki (61), Rusia (63), Mexico (66), Mesir (81), Yunani (83), dan Argentina (87). Demikian pula di tingkat ASEAN, daya saing Indonesia lebih baik dibanding peringkat Vietnam (59), Filipina (85), dan Kamboja (109). Namun, jadi catatan penting bahwa peringkat daya saing Indonesia masih berada di bawah Singapura yang berada di peringkat 3, Malaysia peringkat 26, Brunei peringkat 28, dan Thailand di peringkat 38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar