Rabu, 21 Maret 2012

TUGAS 4 : HUKUM PERJANJIAN

TUGAS 4 : HUKUM PERJANJIAN
A.     Kontrak standar

·         Ditinjau dari segi pihak mana yang menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan kepada konsumen secara massal, dapat dibedakan menjadi:
a. kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur;
b. kontrak standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak;
c. kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga.
·         Ditinjau dari format atau bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dilakukan, dapat dibedakan dua bentuk kontrak standar, yaitu:
a. kontrak standar menyatu
b. kontrak standar terpisah
·         Ditinjau dari segi penandatanganan perjanjian dapat dibedakan, antara lain:
a. kontrak standar yang baru dianggap mengikat saat ditandatangani
b. kontrak standar yang tidak perlu ditandatangani saat penutupan
B. Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian adalah syarat-syarat agar perjanjian itu sah dan punya kekuatan mengikat secara hukum. Tidak terpenuhinya syarat perjanjian akan membuat perjanjian itu menjadi tidak sah. Menurut pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya perjanjian terdiri dari:
1.       Syarat Subyektif  (Mengenai subyek atau para pihak)
·         Kata Sepakat
Kata sepakat berarti adanya titik temu (a meeting of the minds) diantara para pihak tentang kepentingan-kepentingan yang berbeda
·         Cakap
Cakap berarti dianggap mampu melakukan perbuatan hukum. Prinsipnya, semua orang berhak melakukan perbuatan hukum – setiap orang dapat membuat perjanjian – kecuali orang yang belum dewasa, dibawah pengampuan, dan orang-orang tertentu yang dilarang oleh undang-undang.
2.       Syarat Obyektif (Mengenai obyek perjanjian)
·         Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu berarti obyek perjanjian harus terang dan jelas, dapat ditentukan baik jenis maupun jumlahnya.
·         Suatu Sebab Yang Halal
Suatu sebab yang halal berarti obyek yang diperjanjikan bukanlah obyek yang terlarang tapi diperbolehkan oleh hukum. Suatu sebab yang tidak halal itu meliputi perbuatan melanggar hukum, berlawanan dengan kesusilaan dan melanggar ketertiban umum. Misalnya perjanjian perdagangan manusia atau senjata ilegal.
Tidak terpenuhinya syarat-syarat subyektif dan obyektif di atas dapat menyebabkan perjanjian menjadi tidak sah. Perjanjian yang tidak sah karena tidak terpenuhinya salah satu syarat subyektif akan mengakibatkan perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan (canceling) oleh salah satu pihak. Maksudnya, salah satu pihak dapat menuntut pembatalan itu kepada hakim melalui pengadilan. Sebaliknya, apabila tidak sahnya perjanjian itu disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat obyektif maka perjanjian tersebut batal demi hukum (nul and void), yaitu secara hukum sejak awal dianggap tidak pernah ada perjanjian. Selain syarat sahnya perjanjian, suatu perjanjian juga baru akan mengikat para pihak jika dalam pembuatan dan pelaksanaannya memenuhi asas-asas perjanjian

C.      Saat Lahirnya Perjanjian


Pada prinsipnya, hukum perjanjian menganut asas konsensualisme. Artinya bahwa perikatan timbul sejak terjadi kesepakatan para pihak. Satu persoalan terkait dengan hukum perjanjian adalah bagaimana jika salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian atau wan prestasi.
Kesimpulannya, perbedaan antara perikatan dengan perjanjian, perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian adalah sesuatu yang kongkret dan merupakan peristima. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua pihak yang melakukan suatu perjanjian, sedangkan perikatan tidak lahir dari undang undang diluar kemauan pihak yang bersangkutan. Pihat tersebut dikenal dengan DEBITUR dan KREDITUR.

D.     Pembatalan dan Pelaksanaan Perjanjian


Pengertian pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam kemungkinan alasan, yaitu pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif, dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur.
Pembatalan dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni:
1) Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
2) Harus ada wanprestasi (breach of contract)
3) Harus dengan putusan hakim (verdict)

E.      Pelaksanaan Perjanjian

            Yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.

·         Pembayaran

1) Pihak yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur yang menjadi pihak dalam perjanjian
2) Alat bayar yang digunakan pada umumnya adalah uang
3) Tempat pembayaran dilakukan sesuai dalam perjanjian
4) Media pembayaran yang digunakan
5) Biaya penyelenggaran pembayaran

·         Penyerahan Barang

Syarat- syarat penyerahan barang atau lavering adalah sebagai berikut:

1) Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan
2) Harus ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang sering digunakan yaitu teori kausal dan teori abstrak
3) Dilakukan orang yang berwenang mengusai benda
4) Penyerahan harus nyata (feitelijk)

·         Penafsiran dalam Pelaksanaan Perjanjian

Adapun pedoman untuk melakukan penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian, undang- undang memberikan ketentuan- ketentuan sebagai berikut:

1) Maksud pihak- pihak
2) Memungkinkan janji itu dilaksanakan
3) Kebiasaan setempat
4) Dalam hubungan perjanjian keseluruhan
5) Penjelasan dengan menyebutkan contoh
6) Tafsiran berdasarkan akal sehat

Sumber:
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/standar-kontrak-hukum-perjanjian/

Nama  : Lupita Clarissa A
NPM    : 24210093
Kelas    : 2EB21

TUGAS 3 : HUKUM PERDATA

 Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:

·              Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum.
·              Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi
(i)                 benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu);
(ii)               benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan
(iii)             benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). 
·            Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan, syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
·            Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.

B.      SEJARAH SINGKAT HUKUM PERDATA YANG ADA DI INDONESIA

Sejarah membuktikan bahwa hukum perdata yang saat ini berlaku di Indonesia tidak lepas dari sejarah hukum perdata eropa. Di eropa continental berlaku hukum perdata romawi, disamping adanya hukum tertulis dan hukum kebiasaan tertentu.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah hukum perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “ Code Civil de Francis” yang juga dapat disebut “Cod Napoleon”.
            Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini digunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothis. Disamping itu juga dipergunakan hukum bumi putera lama, hukum jernoia dan hukum Cononiek. Code Napoleon ditetapkan sebagai sumber hukum di belanda setelah bebas dari penjajahan prancis.
Setelah beberapa tahun kemerdekaan, bangsa memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari hukum perdata. Dan tepatnya 5 juli 1830 kodivikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dn WVK (Wetboek Van Koopandle) ini adalah produk nasional-nederland yang isinya berasal dari Code Civil des Prancis dari Code de Commerce.

C.      KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA

            Mengenai keadaan hukum perdata di Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam. Faktor yang mempengaruhinya antara lain :
·         Faktor etnis
·         Faktor hysteria yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :
a. Golongan eropa
b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
c. Golongan timur asing (bangsa
Cina, India, Arab)

            Untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal dari tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan.
            Pedoman politik bagi pemerintahan Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokoknya sebagai berikut :

·         Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di kodifikasi).
·         Untuk golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi).
·         Untuk golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya.
·         Orang Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
·         Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.

D.     SISTEMATIKA HUKUM PERDATA

Sistematika hukum di Indonesia ada dua pendapat, yaitu :
·         Dari pemberlaku undang-undang
Buku I
              : Berisi mengenai orang
Buku II
            : Berisi tentanng hal benda
Buku III
           : Berisi tentang hal perikatan
Buku IV
           : Berisi tentang pembuktian dan kadaluarsa

·         Menurut ilmu hukum / doktrin dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
I. Hukum tentang diri seseorang (pribadi)
            Mengatur tentang manusia sebagai subjek hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk bertindak sendiri.

II. Hukum kekeluargaan
            Mengatur perihal hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami istri, hubungna antara orang tua dengan anak, perwalian dan lain-lain.

III. Hukum kekayaan
            Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat diukur dengan dengan uang, hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan yang antara lain :
- hak seseorang pengarang atau karangannya
- hak seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak.

IV. Hukum warisan
            Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal dunia. Disamping itu, hukum warisan juga mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
Sumber:

Nama  : Lupita Clarissa A
NPM    : 24210093
Kelas    : 2EB21




Minggu, 18 Maret 2012

CONTOH KASUS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Kasus Babcock dan Jackson

Miss Georgia Babcock dengan kawan-kawannya yaitu Mr. dan Mrs William Jackson pergi untuk week end ke Canada pada tanggal 16 september tahun 1960,dengan memakai mobil Jackson. Mereka semua penduduk Rochester (New York). Waktu melewati propinsi Ontario. Mereka mengalami kecelakaan yang menyebabkan Miss Babcock luka berat. Sekembalinya ke New York, Miss Babcock melakukan tuntutan ganti rugi terhadap Jackson berdasarkan “negligence”.  Pada waktu kecelakaan terjadi, di Ontario berlaku suatu “Guest Statue” yang pada pokoknya menentukan bahwa orang-orang yang hanya merupakan Guest tanpa bayaran tidak dapat menuntut konpensasi apapun jika terjadi kecelakaan. Ketentuan sedemikian tidak ada dalam perundang-undangan Negara bagian New York.

Ø  Fakta-faktanya :
·         Miss Georgia Babcock dengan kawan-kawannya yaitu Mr. dan Mrs William Jackson pergi untuk week end ke Canada pada tanggal 16 september tahun 1960,dengan memakai mobil Jackson. Mereka semua penduduk Rochester (New York).
·         Waktu melewati propinsi Ontario. Mereka mengalami kecelakaan yang menyebabkan Miss Babcock luka berat.
·         Sekembalinya ke New York, Miss Babcock melakukan tuntutan ganti rugi terhadap Jackson berdasarkan “negligence”
·         Pada waktu kecelakaan terjadi, di Ontario berlaku suatu “Guest Statue” yang pada pokoknya menentukan bahwa orang-orang yang hanya merupakan Guest tanpa bayaran tidak dapat menuntut konpensasi apapun jika terjadi kecelakaan
Ø  Titik Taut Primernya :

Titik taut primer adalah faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang memperlihatkan bahwa kita berhadapan dengan peristiwa hukum perdata Internasional. Atau faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang memperlihatkan bahwa suatu hubungan atau peristiwa adalah peristiwa hukum perdata Internasional.
Dalam kasus ini titik taut primernya adalah tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (tempat kecelakaan) yaitu di oktario. Ini sebagai element asing bila ditinjau oleh PN New York.

Ø  Titik Taut Sekunder :

Titik taut sekunder adalah faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang menentukan hukum Negara mana yang harus berlaku dalam suatu peristiwa hukum perdata internasional.
Dalam kasus ini titik taut sekundernya adalah Lex Loci Delicti Commissi (hukum tempat perbuatan melawan hukum dilakukan).

Ø  Hukum Yang Berlaku :

·         Pengadilan TK I : Memakai lex locus delicti commissi yaitu hukum Ontario demikian pula dengan;
·         Pengadilan TK II : pun menggunakan hukum Ontario sebagai hukum tempat terjadinya kecelakaan
·         Dua diatas masih memakai teori klasik
·         Tetapi di tingkat kasasi hukum yang dipergunakan adalah hukum new York karena kepentingan new York jauh melebihi kepentingan Ontario : concen dari new York adalah greater and more direct daripada interest Octario.

Ø  Faktor-faktor yang menyatakan hal ini adalah:
·         Gugatan diajukan oleh seorang newyork guest terhadap new York host.
·         Surat izin mengemudi dan asuransi mobilnya di new York
·         Perjalanan week end ini dimulai dan diharapkan berakhir di new York
Jadi memang new York yang memiliki “superior Claim” untuk pemakaian hukum dan juga the Strongest interest dalam perkara ini. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tadi maka hukum yang dipakai dalam perkara Babcock ini adalah hukum new York, dan gugatan babcock dimenangkan dan keputusan-keputusan dari hakim rendahan yang telah memenangkan pihak jacson di batalkan dan eksepsi dari yang disebut belakangan ini dikesampingkan.
Sumber:
Nama : Lupita Clarissa A
NPM   : 24210093
Kelas  : 2EB21